Mulai 20 Oktober 2024, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto akan meluncurkan misi penting dalam penegakan hukum, dengan fokus utama pada bidang perpajakan. Mengingat pajak akan menjadi tumpuan utama bagi penerimaan APBN dalam lima tahun ke depan, penyelesaian sengketa pajak harus menjadi prioritas yang mendapatkan perhatian serius.
Oleh karena itu, pemerintahan Prabowo Subianto tidak memiliki banyak waktu untuk menganalisis masalah ini. Hanya dengan cepat menanggapi berbagai tantangan yang muncul, pemerintah dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap penegakan hukum—terutama dalam bidang perpajakan—dan membangun keyakinan bahwa pajak, beserta penyelesaian hukumnya, harus menjadi andalan dalam penerimaan negara.
Mengapa ini penting? Selama masa kampanye, Prabowo Subianto berkomitmen untuk menyediakan makanan gratis bagi anak-anak sekolah serta memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan masyarakat. Semua ini memerlukan anggaran yang sangat besar. Proyeksi penerimaan pajak dalam APBN 2025 adalah sebesar Rp 2.490,9 triliun, yang akan berkontribusi sekitar 82,8?ri total penerimaan negara yang diperkirakan sebesar Rp 3.005,1 triliun (sumber: kemenkeu.go.id).
Di samping itu, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) per 31 Desember 2022 menunjukkan adanya piutang pajak sebesar Rp 114,37 triliun, yang meningkat menjadi Rp 117,42 triliun pada 31 Desember 2023, dengan kenaikan sebesar Rp 3,04 triliun atau 2,66%. Angka ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar tunggakan atau piutang pajak ini berkaitan dengan sengketa pajak yang belum terselesaikan.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis dan menyelesaikan sengketa pajak dengan langkah hukum yang cepat. Pemerintahan Prabowo Subianto perlu mengadopsi strategi prioritas dalam pembiayaan yang bersumber dari pajak. Dalam pandangan penulis, fokus pada penegakan hukum dalam penyelesaian sengketa pajak harus menjadi misi utama pemerintahan Prabowo Subianto sejak dilantik hingga akhir masa jabatannya dalam lima tahun ke depan
Berikut adalah versi yang lebih menarik dari teks tentang sengketa pajak:
Menggali Akar Masalah Sengketa Pajak
Mengapa sengketa pajak sering terjadi? Salah satu penyebab utamanya terletak pada ketidakpastian hukum yang mengintai. Ketidakpastian ini menciptakan risiko hukum yang dapat menguras tenaga, sumber daya, dan waktu, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap efisiensi dalam berbisnis.
Sebagai contoh, dalam UU Pengadilan Pajak No. 14/2002, dijelaskan bahwa sengketa banding seharusnya diputus dalam waktu 12 bulan, sedangkan gugatan harus selesai dalam 6 bulan. Keduanya dapat diperpanjang maksimal 3 bulan (Pasal 81). Namun, kenyataannya, putusan sering kali berlarut-larut tanpa kepastian kapan akan keluar.
Oleh karena itu, rumusan norma harus dirancang untuk memberikan kepastian hukum serta sanksi bagi penegak hukum. Tidak dapat diterima jika undang-undang hanya menyajikan norma tanpa memberikan konsekuensi bagi hakim yang tidak mematuhi hukum. Pajak yang menjadi bagian dari APBN seharusnya tidak menyisakan persoalan hukum yang berkepanjangan.
Sering kali, esensi masalah bukan terletak pada teknis perhitungan sengketa pajak, melainkan pada norma-norma yang terkandung dalam undang-undang pajak, termasuk UU Pengadilan Pajak. Karena itu, pemerintah perlu melakukan reformasi terhadap UU Pajak dan UU Pengadilan Pajak, terutama dalam proses penyelesaian sengketa. Penambahan rumusan sanksi bagi fiskus dan hakim menjadi hal yang krusial. Momentum reformasi ini sangat tepat, terutama setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor PUT 26/PUU/XXI/2023 pada 25 Mei 2023, yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak harus sepenuhnya berada di bawah Mahkamah Agung paling lambat pada 31 Desember 2026.
Berdasarkan laporan IMF & OECD 2017, terdapat lima penyebab utama yang berkontribusi terhadap meningkatnya sengketa pajak, di mana salah satunya adalah ketidakpastian hukum. Empat penyebab lainnya yang patut dicermati adalah masih adanya birokrasi yang berbelit, perlakuan fiskus yang tidak konsisten, kompleksitas aturan, dan keputusan pengadilan yang tidak seragam.
Mempertanyakan Keefektifan Sistem Self-assessment Pajak
Sejak diterapkannya sistem self-assessment, telah disepakati bahwa fiskus tidak boleh mengintervensi laporan yang disampaikan oleh Wajib Pajak (WP). Tugas fiskus hanya sebatas pengawasan, terutama jika mereka memiliki data dari pihak ketiga yang relevan.
Fiskus dilarang melakukan analisis terhadap laporan pajak yang telah diajukan, kecuali mereka memiliki data pembanding dari sumber lain. Analisis kewajaran tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan koreksi, karena tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Prinsip ini sejalan dengan semangat hukum publik yang berlandaskan pada fakta, bukan asumsi.
Akibatnya, ruang untuk melakukan koreksi sering menjadi sumber sengketa ketika kewajaran dijadikan alasan untuk mengoreksi laporan yang sudah diajukan dalam sistem self-assessment. Prinsip dasar dari sistem ini adalah bahwa pegawai pajak bersifat pasif, sementara Wajib Pajak berperan aktif. Inilah esensi dari filosofi sistem self-assessment.
Namun, terdapat dua kesenjangan hukum yang mencolok dalam rumusan norma UU Pajak. Pertama, ketidakjelasan dalam rumusan norma objek pajak. Kedua, adanya objek pajak yang belum diatur dalam UU tetapi muncul dalam bentuk diskresi melalui peraturan yang tidak tercantum dalam UU.
Kondisi ini semakin memperpanjang jalur penyelesaian sengketa, yang harus melalui banding di Pengadilan Pajak dan mungkin berlanjut ke Mahkamah Agung melalui langkah Peninjauan Kembali (Pasal 91 UU 14/2002). Hal ini membuat publik bertanya-tanya tentang makna sejati dari sistem self-assessment, terutama mengingat meningkatnya sengketa pajak setiap tahun. Proses ini juga berlanjut di tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, di mana baik pihak DJP maupun Wajib Pajak dapat mengajukan PK, sehingga penyelesaian sengketa pajak menjadi sangat memakan waktu.
Lembaga Pemutus Sengketa Pajak: Urgensi Reformasi
Lembaga pemutus sengketa pajak menjadi fokus dalam reformasi perundang-undangan pajak. Lembaga Keberatan yang saat ini diurus oleh Ditjen Pajak (Pasal 25 UU KUP No 6/1983 dan perubahannya) harus segera dipisahkan dari otoritas pajak. Logika hukum menjadi cacat ketika keberatan diselesaikan oleh salah satu pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa harus dilakukan oleh lembaga independen agar keadilan dan kepastian hukum dapat terwujud, sesuai dengan prinsip negara hukum. Pemerintahan baru harus segera melakukan reformasi perundang-undangan pajak. Jika langkah ini diambil pada tahun pertama, diharapkan penerimaan pajak dalam empat tahun ke depan dapat menciptakan keadilan dan meningkatkan kepercayaan publik, yang krusial untuk partisipasi dalam pembangunan nasional.
Dunia bisnis membutuhkan kepastian hukum yang cepat, sehingga penyelesaian sengketa pajak yang berkepanjangan perlu direformasi untuk efisiensi. Pola pikir lama harus ditinggalkan, terutama di era persaingan global yang mengedepankan kecepatan dan efisiensi. Tanpa efisiensi, negara akan tertinggal dalam kompetisi global.
Gerakan pajak harus menjadi gerakan nasional yang terintegrasi dalam satu kementerian khusus, mengumpulkan semua unit penerimaan negara, termasuk pajak, pabean, cukai, dan PNBP. Penyatuan ini menjadi Revenue Center Nasional untuk memudahkan pengukuran kinerja sesuai dengan konsep tanggung jawab akuntansi.
Simpulan
Dari penjelasan di atas, terdapat tiga poin penting yang dapat ditarik kesimpulannya.
Pertama, upaya penyelesaian sengketa pajak yang mengarah pada keadilan dan kepastian hukum harus segera dilakukan, karena keberlangsungan APBN yang menjadi tulang punggung pemerintahan baru sangat bergantung pada pendapatan pajak untuk mencapai kemandirian nasional.
Kedua, norma-norma yang mengatur sengketa pajak perlu dirumuskan secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan ambiguitas, serta mengurangi ruang untuk diskresi yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum.
Ketiga, pajak yang dialokasikan dalam APBN harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian, sehingga masyarakat dapat memberikan dukungan terhadap berbagai program yang telah disusun oleh pemerintah untuk kepentingan bersama. Semoga!